Kamis, 18 Februari 2010

PENERANGAN BAGIAN DARI KEGIATAN INTELIJEN ?


Penerangan artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses atau cara perbuatan menerangkan atau memberikan penjelasan terhadap sesuatu hal. Penerangan biasanya diidentikan dengan orang yang biasanya "cuap-cuap" dengan mikropon sedang memberikan ceramah atau informasi, sehinga sering kita dengar di masyarakat istilah Jupen (juru penerang) yang pada waktu itu merupakan tugas dari departemen penerangan, dimana profesi ini dianggap tidak semua orang bisa menanganinya, karena harus mempunyai kualifikasi tertentu (kompetensi), juga harus punya bakat dalam mengeksplore informasi agar mudah diterima atau dicerna publik (masyarakat).

Seiring perkembangan waktu istilah juru penerangan mulai jarang terdengar apalagi sejak Departemen Penerangan dilikuidasi pada masa Presiden Gus Dur. Setelah itu muncul istilah "Humas" (hubungan masyarakat) yang terdapat pada lembaga-lembaga pemerintah. Humas disini mempunyai tugas atau fungsi sebagai jembatan penghubung antara institusi atau lembaga yang diwakili dengan masyarakat (publik), tugas humas adalah menciptakan citra positif tentang sesuatu, apakah produk, apakah lembaga, apakah manusia untuk menciptakan sebuah opini yang baik ( to create a favorable opinion) tanpa mempertimbangkan apakah produk/lembaga/manusia itu benar-benar positif (Toeti Adhitama: 2003:1)

Ada sebagian masyarakat yang salah pengertian tentang konsep humas, sehingga banyak praktisi-praktisi humas angkatan baru di Indonesia, terutama yang bergerak di bidang swasta, kemudian memilih istilah "PR" (Public Relations) istilah PR ini kelihatan lebih baru dan lebih moderen. Public Relations definisinya yang dikeluarkan oleh Institute of Public Relations (IPR) berbunyi " Public Relations practise is the deliberate, planned and sustained effort to establish and maintain mutual understanding between an organization and is public" Jadi Public relations adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayak (publik).

Pada prinsipnya intinya sama antara Juru penerang, Humas dan PR yaitu sebagai jembatan penghubung antara institusi atau lembaga yang diwakili dengan khalayak atau masyarakat, hanya biasanya aplikasinya berbeda kalau Jupen/Humas biasanya dipakai oleh lembaga instansi pemerintah sedangkan PR biasanya lembaga swasta atau perusahaan, pada hakekatnya fungsinya sama yaitu : 1) Memberikan penerangan kepada masyarakat, 2) Melakukan persuasi untuk mengubah sikap dan perbuatan masyarakat secara langsung, 3) Berupaya untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu organisasi sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan tugas utama (Jupen/Humas/PR) adalah membuat/menciptakan citra yang baik suatu lembaga/instansi/perusahaan di benak persepsi masyarakat.

Citra adalah sebuah pandangan mengenai suatu instansi/lembaga/perusahaan yang bersifat penilaian obyektif masyarakat atas tindakan dan perilaku serta etika lembaga/instansi yang berhubungan dengan eksisten-sinya dalam masyarakat. Citra merupakan kesan, perasaan dan gambaran diri publik terhadap lembaga/perusahaan/instansi, kesan sengaja diciptakan dari suatu obyek /orang/organisasi. Citra sengaja diciptakan agar bernilai positif, karena citra merupakan salah satu asset terpenting dari suatu lembaga/perusahaan atau organisasi. Cara menciptakan citra yaitu menjalin relasi komunikasi dan kerjasama serta memberikan penerangan kepada masyarakat atau khalayak melalui saluran media yang dianggap sesuai dengan khalayak baik melalui media cetak maupun elektronik.

Intelijen dan Penerangan

Intelijen berasal dari bahasa Inggris "intelligence" yang artinya kecerdasan, cakap, pandai, sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan mental (intelegent/otak). Sehingga intellijen bisa diartikan kemampuan untuk mengumpulkan atau menilai bahan-bahan keterangan (baket) yang berguna untuk keperluan intellijen, baik untuk perorangan (individu), komandan militer atau seorang pembuat kebijakan (policy maker) dapat pula suatu instansi atau kepala Negara atau kepala pemerintahan. Untuk itu syarat menjadi personel intellijen seharusnya mempunyai kemampuan yang baik dalam menganalisa bahan-bahan keterangan agar hasil analisa yang disampaikan (produk intellijen) kepada user/pengguna tidak keliru/salah, apabila salah analisa maka hasil kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil keputusan akan menyimpang atau tidak benar keputusannya. Dapat dikatakan seorang intellijen harus memiliki atau menguasai pengeta-huan yang luas dibandingkan personil yang lainnya, baik masalah-masalah politik nasional maupun internasional, sosial masyarakat, budaya (antro-pologi), ekonomi, maupun hankam, mengapa harus demikian? Karena sekarang ini suatu peristiwa (kejadian) tidak bisa hanya disebabkan satu faktor saja, tetapi pasti bersifat multikomplek. Sebagai contoh terjadinya peristiwa pemberontakan suatu daerah harus dilihat dari berbagai dimensi tidak hanya segi politik saja sebabnya mungkin disebabkan dari sisi ekonomi (kesejahteraan), kondisi sosial masyarakatnya yang dapat memicu, mungkin peran kepala adat (pemimpin Lokal ) atau adanya penerapan budaya yang tidak sesuai dengan kultur daerah. Sebagai gambaran sejarah waktu pemberontakan ada gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), OPM (Organisasi Papua Merdeka) dengan gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). DII (Darul Islam Indonesia) artinya seorang intelijen harus bisa memahami mengapa organisasi yang satu tidak memakai kata "Indonesia" sedangkan yang satunya masih mencantumkan kata "Indonesia" padahal sama-sama gerakan daerah pasti ada sesuatu yang menyebabkannya.

Fungsi intelijen bersifat universal, yang meliputi penyelidikan (intelelligence), adalah suatu kegiatan untuk memperoleh keterangan-keterangan mengenai keadaan dan tindakan apa yang akan dilakukan oleh fihak lawan. Keterangan-keterangan tersebut, setelah diolah dan dinilai, baru menjadi intellijen yang berguna bagi kepentingan pemakai (user). Pemakai bisa seorang komandan dan dapat pula seorang kepala suatu perusahaan atau kepala pemerintahan suatu Negara. Pengamanan (security), adalah suatu kegiatan untuk mencegah pihak lawan mengetahui keadaan kita dan tindakan-tindakan apa yang akan kita lakukan. Kegiatan pengamanan dapat dilakukan secara aktif dan pasif. Tindakan pengamanan secara aktif adalah me-lakukan kegiatan lawan intellijen. Sedangan pengamanan secara pasif adalah melakukan kegiatan-kegiatan preventif terhadap kemungkinan obyek yang dapat menjadi sasaran intellijen lawan. Pengamanan berupa pengamanan personel, materiil, dan keterangan. Penggalangan (pre conditioning), adalah kegiatan operasi khusus dan operasi psikologis. Penggalangan termasuk dalam "political warfare" bertujuan mengarap dan meng-galang sasaran atau lawan agar kehilangan se-mangat untuk meneruskan perlawanan atau me-nyeberang dan berfihak pada kita atau setidak-tidaknya dibuat tidak berdaya lagi untuk dapat merintangi keinginan kita. (Jono Hatmojo, 2003:135-136)

Semua tingkatan intellijen mempunyai tiga fungsi seperti tersebut diatas, perbedaan terletak pada luas skala (scope) terutama terdapat pada sasaran (target) dan kegunaannya. Sebagai gambaran Intellijen Strategis (Strategic intelligence) adalah intelijen di tingkat kepentingan Negara atau nasional dengan sasarannya adalah kedudukan strategis (strategic Stature) suatu Negara. Kegunaannya adalah untuk mengetahui komponen-komponen strategis dasar Negara tersebut, yang diperlukan pada waktu damai atau perang yang diproyeksikan pada kepentingan nasional (national interest) suatu Negara. Intelijen Militer (Military Intelligence) adalah intellijen di tingkat kepentingan militer dengan sasarannya adalah kemampuan militer dan persenjataan suatu Negara. Keguna-annya adalah untuk mengetahui komponen-kom-ponen strategis dan taktik militer suatu Negara pada waktu damai dan perang, yang diproyeksikan pada kepentingan pertahanan dan keamanan Negara. Intellijen Tempur/Taktik (Combat or Tactical Intelligence) adalah intellijen di tingkat kesatuan tempur dari tingkat mandala, divisi, resimen, brigade, ba-talyon sampai kompi pada waktu perang atau darurat perang.

Sebenarnya antara intellijen dan penerangan adanya kemiripan kalau dianalisa lebih mendalam di intellijen ada kegiatan penyelidikan, Cuma di penerangan ada istilah pengumpulan data (mencari bahan berita), kemudian kegiatan berikutnya di intellijen ada pengamanan (material, personel, keterangan) sedangkan di lembaga penerangan pengamanan beritanya berupa pemilihan berita yang baik (positif) untuk dipublikasikan dalam rangka membuat citra baik dan yang kurang baik disimpan agar publik tidak mengetahui. Kegiatan yang ketiga di intelijen adalah penggalangan sedangkan di lembaga penerangan adalah sebar berita untuk buat opini. Perbedaan intelijen dan penerangan hanya terletak kalau intellijen bersifat tertutup berita/informasi hanya untuk konsumsi kalangan interen saja yaitu untuk bahan per-timbangan pemimpin dalam mengambil kebijakan, sedangkan penerangan bersifat umum untuk konsumsi public (masyarakat).

Penerangan merupakan Kegiatan Penggalangan

Penerangan (information) atau penyebaran keterangan (berita) mempunyai tujuan memberikan perilaku kejelasan kepada pemirsa (audience). Bagaimanapun juga perilaku seseorang atau ma-syarakat akan terkena pada saat mendapatkan penerangan baru, jadi dapat dikatakan bahwa penerangan merupakan komunikasi yang disengaja (purposeful communication) dan penerangan dapat mempengaruhi perilaku baik individu maupun masyarakat. Penerangan sebenarnya bukan me-rupakan fungsi intelijen, tetapi kegiatan penerangan termasuk dalam katagori kegiatan penggalangan (pre Conditioning) dan penggalangan itu sendiri merupakan fungsi dari intellijen, sehingga bisa ditarik garis kesimpulan bahwa penerangan se-benarnya merupakan bagian kegiatan intellijen. Fungsi penggalangan intellijen terletak pada fungsi penerangan yang tugas utama menciptakan kondisi khalayak atau masyarakat agar terpengaruh dengan berita yang kita buat supaya mengikuti kehendak keinginan kita baik secara langsung maupun tidak, agar semua tindakan dan aktifitasnya mengikuti keinginan yang kita harapkan.

Penerangan disini yang dimaksud penulis bisa kita sama artikan dengan istilah " Propaganda" yang mempunyai pengertian adalah suatu kegiatan yang direncanakan (planned activity) yang dija-barkan dengan kata (word) atau tindakan (deed) atau kombinasi dari keduanya, yang mempunyai mak-sud mengubah suatu sikap (attitude) dengan tujuan mengubah tingkah laku (behavior) secara sukarela. Jadi tugas propaganda adalah mengubah tingkah laku sedangkan sasaran utama propaganda adalah sasaran keseluruhan, yakni untuk memperoleh ke-untungan (profit), maka dapat dikatakan propaganda merupakan unsur utama operasi psykologi. Kegiat-an propaganda mencakup semua kehidupan ma-nusia (all work life) dengan istilah sekarang disebut Social political engenering, agar propaganda dapat berhasil dengan baik, propaganda harus bisa me-manfaatkan kelemahan-kelemahan psikologi yang terdapat dalam suatu Negara, masyarakat, rakyat maupun perorangan.

Propaganda dapat dikatakan sebagai kegiatan operasional penggalangan sesuai dengan yang diinginkan dari pelaku penggalangan mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa sekali dalam kegiatan intellijen, contoh propaganda sukses adalah Propaganda yang dilaksanakan oleh pe-merintahan Jepang pada masa perang dunia ke II ketika menghadapi Sekutu (Amerika Cs) di kawasan Asia, dimana Jepang dengan berita-berita propagandanya bisa memobilisasi rakyat yang dijajahnya termasuk penduduk Indonesia untuk melawan Sekutu dengan semboyan 3 N yaitu : "Nippon Permimpin Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Cahaya Asia", sehingga rakyat berbondong-bondong ikut mendaftar sebagai prajurit PETA untuk dapat ikut partisipasi mempertahankan wilayahnya dari serangan Sekutu.

Kegiatan penggalangan melalui penerangan/Propaganda bahkan bisa dijalan-kan walaupun kegiatan intellijen sebelumnya yaitu pe-nyelidikan sangat lemah tetapi bisa menghasilkan output yang besar sesuai de-ngan yang diinginkan se-bagai contoh sejarah peris-tiwa operasi Trikora (pembebasan Irian barat), dari sisi kegiatan penyelidikan sangat lemah karena kapal-kapal (KRI) yang akan bergerak menjalankan operasi tidak mendapat (bekal) informasi intellijen yang lengkap tentang kekuatan yang dimiliki oleh pihak Belanda baik dari jumlah personel maupun persenjataan (kapal), tetapi setelah terjadi peristiwa Aru, yang kemudian beritanya tersiar di media-media massa baik cetak maupun elektronik besar–besar sehingga berita itu menimbulkan kekuatan luar biasa bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, dengan rasa heroisme nasionalime yang tinggi bersatu dan bersama-sama mencurahkan pikiran dan tenaga bertekad merebut kembali Irian. Dan sejak ini perjuangan menjadi mengkristal baik dikerjakan secara fisik maupun diplomasi. Dari beberapa contoh diatas menunjukkan bahwa ke-kuatan penerangan (propaganda) melalui media massa baik cetak maupun elektonik sangat efektif sekali dalam usaha kegiatan penggalangan.

WANPRESTASI



Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi prestasi atau kewjibanya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, dan bukan karena keadaan memaksa.

Dalam kehidupan rohani, manusia juga adalah debitur, yakni si berhutang atau orang yang mempunyai hutang, sedangkan Tuhan adalah kreditur, yaitu si berpiutang atau pihak yang memberi hutang. Hanya saja pemberian yang diberikan Tuhan (kreditur) kepada manusia (debitur) adalah pemberian secara cuma-cuma bukan hutang. Karena itu, segala pemberian Allah kepada manusia tidak perlu dikembalikan lagi kepada-Nya.

Atas pemberian yang Dia anugerahkan pada manusia Dia hanya minta agar manusia dapat selalu bersyukur, menjaga dan merawat dengan baik segala pemberian-Nya itu. Namun, sebagai debitur kita seringkali melakukan tindakan wanprestasi terhadap Tuhan. Sering kita lalai dalam melaksanakan permintaan Tuhan tersebut. Kita kerap lupa untuk bersyukur atas setiap pemberian Tuhan kepada kita. Bahkan tak hanya itu saja. Selain lupa mensyukuri segala pemberian-Nya, kita juga tak jarang lalai dalam menjaga dan/atau merawat anugerah yang telah Dia berikan kepada kita.

Sebagai contoh bahwa kita acapkali lalai untuk menjaga dan/atau memelihara pemberian-Nya adalah sebagai berikut. Saya diberi Tuhan talenta menulis. Akan tetapi saya sering lalai untuk menjaga dan/atau merawat talenta yang sudah Tuhan percayakan kepada saya. Tanda atau bukti bahwa saya telah melalaikan tanggung jawab saya untuk senantiasa menjaga dan/atau memelihara pemberian-Nya, dapat dilihat dari perbuatan saya yang jarang atau bahkan tidak pernah menulis karya-karya yang indah bagi kemuliaan-Nya, walaupun sebenarnya saya pandai menulis.

Sebagai debitur, marilah kita melaksanakan kewajiban kita kepada sang kreditur sejati dengan benar, supaya perjanjian antara kita dengan Tuhan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan !.

Kamis, 04 Februari 2010

Akhirnya, Kementerian Akui Empat BUMN Tunggak Pajak

Jum'at, 5 Februari 2010 - 07:26 wib

JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengaku hanya ada empat BUMN yang menunggak pajak.Total tunggakan pajak tersebut sebesar Rp464,4 miliar.

Sekretaris Menteri BUMN M Said Didu mengatakan, dua BUMN, yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV dan PT Merpati Nusantara telah mencicil tunggakan pajak tersebut.

”Ada yang sedang mencicil, tapi mengalami kekurangan kas Rp364,4 miliar. Mereka adalah PTPN XIV dan Merpati,” paparnya di Jakarta kemarin.

Seperti diketahui, ada empat BUMN dikatakan menunggak pajak. Mereka adalah PTPN XIV, PT Merpati Nusantara, PT Djakarta Lloyd,dan Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara.

Dia menjelaskan, untuk PT Djakarta Lloyd mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu membayar pajak. Sedangkan, tunggakan pajak LKBN Antara merupakan pajak sebelum berganti status menjadi BUMN. ”Jadi, pajak ditanggung pemerintah,” tandasnya.

Tunggakan dua BUMN itu hanya Rp100 miliar. Untuk itu, nilai Rp364,4 miliar tidak bisa dikatakan tunggakan pajak karena kedua perusahaan pelat merah itu sudah mulai melunasinya dengan cara mencicil. Untuk tunggakan pajak BUMN lain, seperti PT Jamsostek, PT Pertamina, PT Garuda Indonesia, dan PT Semen Tonasa senilai Rp1,4 triliun, menurut Said, sudah lunas seluruhnya.

Bahkan, dia mengungkapkan, rekening PT Semen Tonasa pernah diblokir dan ada rencana penyitaan aset. Sementara itu, pajak PT Angkasa Pura II, PT Istaka Karya, PT Gapura Angkasa, dan Pertamina senilai Rp4,9 triliun masih bersengketa. Saat ini, kata Said, masih dalam proses penyelesaian di pengadilan pajak sehingga tidak bisa ditagih.

Menjernihkan Wacana Pemakzulan

Jum'at, 5 Februari 2010 - 07:27 wib
Menjelang akhir masa kerja Panitia Khusus Angket Century, berkembang wacana pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden (Wapres).

Wacana yang semula diusung sebagian pengunjuk rasa ini bergulir menjadi isu politik yang panas dan bahkan cenderung “liar”. Benarkah ada peluang pemakzulan? Jika merujuk pada UUD 1945, presiden dan/atau wapres dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun Pasal 7A yang merupakan hasil perubahan ketiga konstitusi tersebut mengamanatkan bahwa pemberhentian dimungkinkan “apabila (presiden dan/atau wapres) terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wapres”.

Sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian presiden dan/ atau wapres ke MPR, Pasal 7B ayat (1) mensyaratkan DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah presiden dan/atau wapres melakukan pelanggaran hukum sesuai bunyi Pasal 7A. Sementara itu, Pasal 7B ayat (3) berbunyi: pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Tidak Mudah

Proses politik di atas baru pada tingkat DPR. Apabila MK menyatakan bahwa presiden dan atau wapres terbukti melanggar Pasal 7A, persyaratan pada tingkat MPR lebih sulit lagi karena diperlukan kehadiran anggota majelis (anggota DPR plus anggota DPD) dengan kuorum keputusan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Lalu, apakah ada pintu bagi DPR mendakwa Presiden dan/atau Wapres serta sejauh mana konstelasi politik mutakhir memungkinkan pemakzulan? Persyaratan pelanggaran hukum yang diamanatkan Pasal 7A konstitusi bukanlah soal mudah.

Artinya, DPR harus memiliki bukti kuat untuk meyakinkan MK bahwa Presiden dan/atau Wapres melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Juga apakah Susilo Bambang Yudhoyono dan/atau Boediono tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wapres.

Apabila yang menjadi dasar bagi DPR adalah skandal penalangan Bank Century, hingga kini belum ada indikasi yang jelas bahwa temuan Pansus dapat menjadi ”kartu truf” bagi Dewan untuk mengajukan usulan pemakzulan Presiden dan/atau Wapres kepada MPR. Itu berarti relatif kecil peluang bagi DPR untuk menjadikan skandal Century sebagai pintu masuk pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wapres.

Konstelasi Politik

Di luar soal pemenuhan persyaratan yang diminta konstitusi, dapat dikatakan hampir tidak ada peluang pemakzulan jika didasarkan pada konstelasi politik DPR. Seperti diketahui, tiga perempat kekuatan DPR adalah koalisi politik pendukung Presiden SBY. Meskipun perdebatan di Pansus Century cukup panas terkait tanggung jawab Boediono ketika menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia sekaligus Wakil Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga kini belum ada indikasi bahwa parpol koalisi memiliki agenda pemakzulan.

Kalau Pansus Century menyimpulkan ada indikasi pelanggaran hukum atas keputusan KSSK ataupun BI pada akhir 2008, belum tentu bisa dikategorikan sebagai ”pelanggaran hukum” yang dimaksud oleh Pasal 7A konstitusi. Jikapun Pansus menyimpulkan ada pelanggaran hukum, belum tentu DPR memutuskan demikian. Wajah ”asli” parpol koalisi yang tengah menikmati kekuasaan bakal menjadi kendala besar bergulirnya pemakzulan. Itu berarti dari segi konstelasi politik, hampir tidak ada peluang munculnya pemakzulan terhadap Presiden SBY ataupun Wapres Boediono.

Karena itu, agak mengherankan dalam konstelasi politik demikian Presiden SBY acap mudah mengeluh, ”panik”, dan tidak percaya diri seperti ditunjukkan melalui Pertemuan Bogor. Padahal, jelas, jika tidak ada pelanggaran hukum yang diklasifikasikan Pasal 7A, konstitusi kita mengawal Presiden dan Wapres hingga akhir masa jabatannya.

Presiden Ambil Alih

Pemakzulan atas presiden dan/atau wapres adalah pilihan paling pahit bagi sebuah negara dalam skema presidensialisme. Hal itu dialami bangsa kita ketika MPR memakzulkan almarhum Abdurrahman Wahid pada 2001. Karena itu ia harus dihindari apabila tidak ada dalil konstitusional yang meniscayakannya.

Terlalu besar risiko dan biaya politik yang harus ditanggung negeri ini apabila pemakzulan lebih didasari ”dendam politik” partisan ketimbang dalildalil konstitusi yang telah disepakati bersama. Pilihan terbaik bagi Presiden SBY saat ini adalah mengambil alih tanggung jawab atas dugaan kesalahan yang dilakukan Boediono dan Sri Mulyani dalam menangani kasus Century.

Pengambilalihan tentu tidak dimaksudkan sebagai ”transfer” kesalahan dari Boediono-Sri Mulyani ke SBY. Sebaliknya, pengambilalihan justru diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi berbasis konstitusi yang menjadi pilihan bangsa kita. Pada saat yang sama, Presiden harus pula mendorong penyelesaian hukum oleh KPK jika ada indikasi tindak pidana di balik aliran dana talangan Bank Century. Sebagian elemen masyarakat sipil mungkin kecewa.

Namun itulah risiko pilihan atas demokrasi presidensial. Sambil terus mengingatkan Presiden atas akumulasi ”salah-urus” negara yang dilakukannya, kita harus bersabar untuk menggenapkan usia pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Kesalahan kebijakan bisa saja ”diadili”, tetapi mungkin pemakzulan bukanlah pilihan cerdas untuk itu.